Tuesday 20 May 2014

The Eternal Zero, bukan review!

Terlepas dari versi novel dari Eien No Zero karya Naoki Hyakuta yang seperampat pun tak sampai yang mampu saya baca, novel dengan kanji Jepang. Terlepas juga tentang catatan sejarah yang mencatat 3.860 pilot Kamikaze tewas pada serangan bunuh diri Kamikaze pada perang dunia kedua. Terlepas juga, apakah tokoh utama di The Eternal Zero ini terinspirasi Kiyoshi Ogawa yang menjadi salah satu Kamikaze volunter yang menabrakkan pesawatnya ke USS Bunker Hill. Jadi, karena terlepas dari apapun, tulisan ini hanya sebuah catatan, tentang sebuah cerita fiksi yang menyentuh sisi kemamusiaan, cerita fiksi yang runut diceritakan, cerita fiksi yang pada non-fiksi tak banyak tokoh yang masih hidup mengalami sejarah itu secara langsung banyak bicara, mereka lebih memilih diam. Membicarakannya adalah tabu. Apabila, ternyata Kamikaze pada masa kini disamakan dengan tindakan teroris yang melakukan serangan bom bunuh diri, meski tak mendapat kecaman sekejam para pelaku bom bunuh diri, mungkin, bukan hal yang biasa saja apabila kenyataannya para tokoh sejarah lebih memilih menyimpan sejarah itu dengan diam. Seperti kebanyakan film atau drama Jepang yang selalu menonjolkan sisi kemanusiaan dengan alur yang sederhana, begitu juga The Eternal Zero. Sederhana, namun mengena. Tentang seorang veteran pilot yang secara terpaksa, sepertinya begitu, terpaksa menjadi volunteer kamikaze, yang menghargai hidupnya, karena cintanya pada keluarganya. Memperjuangkan keselamatannya, bukan karena dia takut mati. Sehingga sebutan pengecut disematkan di belakang namanya, oleh orang-orang yang mengenalnya tak seberapa. Seharusnya ini sebuah film menegangkan, tapi kenyataannya, air mata terurai, bukan hanya saya yang memang mudah tersedu tak jelas, banyak orang menghabiskan tisu di samping kanan kiri, juga depan belakang saya, saat janji seorang volunteer kamikaze kepada istrinya diucapkan dengan gaya bahasa tidak langsung pada intinya dan kaku, jauh dari romantis sok manis, ya, ingat, setting film itu sekitar tahun 1944. "Apabila aku kehilangan tangan, aku akan kembali padamu. Apabila aku mati sekalipun, aku akan kembali kepadamu. Dan apabila aku terlahir kembali, aku akan langsung kembali kepadamu." Scene kedua yang membuat tersedu adalah, saat semua orang yang menjadi anak didiknya tewas, kalimat yang diucapkan dengan mata tersakiti serupa mati, "Aku bertahan hidup dengan kematian mereka." Dan, tak biasanya, tak ada orang yang beranjak dari kursi saat scene film berakhir dan giliran para nama kru film yang ditayangkan seolah tak perlu diketahui, padahal tanpa mereka, tak akan ada film itu kan? Dan tahu apa sebabnya sehingga penonton tetap duduk terkesima? Diputarnya lagu Southern All Stars berjudul Hotaru alias Fireflly yang mendayu sekaligus menghentak, sarat kaya makna. "Egao de sayonara o...."

Sunday 20 April 2014

Tai Mo Shan

957 mdpl, jelas tidak bisa disebut gunung. Tapi, Tai Mo Shan memiliki jalur pendakian yang terus menanjak, apabila diawali dari Ng Tung Chai. Jalan lurus datar hanya beberapa langkah saja, selama hampir 2 jam perjalanan, dengan cara jalan kami yang tak menang cepat dari Siput. Dari tanjakan yang menguras tenaga dan memaksa nafas ngos-ngosan itulah hakikat perjalanan kami rasakan. Hakikat perjalanan bukanlah tentang tujuan, tapi perjalanan sendiri itulah sebuah hakikat yang sebenarnya sedang kami cari; kesabaran, mempertahankan semangat, menikmati keindahan dan kesulitan, memaknai kebersamaan karena kebetulan kami berjalan dengan kawan. Dan kami juga tidak sedang berusaha menaklukkan gunung untuk menutupi rasa inferior kami, tapi kami sedang berusaha menaklukkan ego diri kami sendiri. Apabila saya terlalu memukul rata dengan kata 'kami', yang pada nyatanya adalah kata 'saya' yang lebih tepat. Inilah Tai Mo Shan, Big Hat Mountain, yang ternyata memang sangat besar, dalam arti luas, sejauh mata memandang ada hijau dan hijau. Seluas alam raya seakan tiada batas itu berhembus angin sejuk yang menyegarkan. Seluas biru langit yang diselingi awan putih berarak menebarkan hangat yang terkadang mampu membakar. Setelah perjuangan perjalanan, kami sampai juga pada titik yang disebut sebagai tempat tujuan. Padang rumput hijau terhampar luas. Sebuah pos berbangku dua, berdiri papan peta dan bangunan khas pos berwarna coklat,serupa kayu menjadi tempat yang menyambut dengan berbagai bahasa tanpa suara. Dan, sapi-sapi tanpa gembala berjalan hilir mudik tanpa menciptakan kegaduhan. Badan-badan mereka tampak sehat, meski mereka dinyatakan sebagai hewan liar. Jadi benar, manfaat bahan makanan organik itu menyehatkan, lihatlah sapi-sapi itu yang memakan rumput organik, sehat dan bahagia. LOL! Sebenarnya perjalanan tidak hanya sampai di sini, ke kiri ada Lead Mine yang akan membawa ke Shing Mun Reservoir dan sebelah kanan akan mengajak pejalan menikmati keindahan Tai Mo Shan dari sisi Route Twisk dan Fu Yung Shan. Atau seperti kami, kembali ke jalur Ng Tung Chai karena ingin menikmati rangkaian Ng Tung Chai Waterfalls yang menawan. Ada Scatter Fall, Main Waterfall, Middle Waterfall, dan Bottom Waterfall, yang keempatnya mampu membasuh lelah. Gemuruh kota yang menyesakkan mengalir sirna oleh gemuruh air menghantam batu-batu berlumut yang licin. Terlintas pikiran ingin bertandang ke Tai Mo Shan? Semudah semua jalur perjalanan di Hong Kong, ke Tai Mo Shan bukanlah masalah besar. Apabila dari Tsuen Wan bisa naik bis nomer 51 yang sepertinya memiliki jalur perjalanan banyak peminat, entah mugkinkah lebih mudah, kami belum pernah mencoba. Kalau berminat dengan jalur yang kami pilih, berarti titik pertama yang haris didatangi adalah Tai Po Market Bus Terminus, dan mencari bis nomer 64K dan berhenti di Ng Tung Chai bus stop. Dan, perjalanan segera dimulai. Indahnya perjalanan, tak hanya karena hati kita sendiri sedang indah, bukan pula hanya karena tempat yang indah, tapi juga karena kita diiringi oleh kebersamaan yang indah.

Saturday 12 April 2014

Dragon's Back

TIME Asia menobatkan Dragon's Back sebagai The Best Urban Hiking Trail di Asia pada tahun 2004, menurut  data yang tercatat di wikipedia. Tentunya bukan penobatan tanpa alasan. Karena, meski hanya memiliki ketinggian beberapa ratus mdpl, Dragon's Back memiliki hiking trails yang unik. Seperti namanya, Dragon's Back; menanjak, menurun, meliuk yang cantik, meski tingkat kesulitannya tak seberapa, 8,5 km bisa menjadi perjalanan yang menyehatkan. Terutama ketika mata dimanjakan dengan spot-spot cantik yang bisa disaksikan dengan sempurna dari atas punggung sang Naga. Shek O, Tai Long Wan, Stanley, bahkan Laut China Selatan yang membawa hembusan angin semilir. Hanya dengan waktu 2,5 jam sejak dari To Tei Wan village hingga sampai ke Tai Long Wan, inilah keberuntungan, bisa menikmati pemandangan yang worth. Tak sulit untuk sampai ke titik awal perjalanan, yaitu To Tei Wan village, dari mana pun, yang harus kita tuju pertama kali adalah Shau Kei Wan MTR station, keluar exit A3 dan menuju ke terminal bis, bis nomer 9 dengan tujuan Shek O adalah alat transportasi berikutnya. Dan bahkan, dari dalam bis, petualangan itu sebenarnya sudah dimulai. Jalan meliuk mengikuti tanjakan, sebelah kanan adalah tebing curam, di ujung kanan sana ada laut lepas dan di ujung laut itu sebuah peradaban beraneka bentuk. Hanya saja perlu diingat untuk memperhatikan hari-hari dimana orang HK China melakukan ziarah kubur, karena transportasi akan padat merayap, bahkan sampai macet total, seperti yang kami alami, karena kami ke sana bertepatan pada Ching Ming festival, yang dalam kultur China berarti Clean and Bright, dan membersihkan makam leluhur adalah salah satu rangkaian acara. Indahnya perjalanan karena kebersamaan, tak hanya karena alasan ada orang yang akan membantu mengabadikan, tapi lebih pada keselamatan, selain hal penting tapi tak tercatat ; hangatnya kebersamaan, perjalanan itu bisa memperkuat hubungan, persahabatan.

Saturday 29 March 2014

Bukan Review : Noah

Spoiler, bila hendak menonton film ini sebaiknya tulisan ini jangan dibaca, akan hilang surprise filmnya.

Secara audio visual, film ini memanjakan mata dan telinga. Secara alur cerita, lumayan menghibur. Tapi, memang 'menyakitkan hati' imajinasi penulis naskahnya menurut saya karena film ini mengangkat kisah seorang nabi Allah.

Karena kemampuan listening bahasa Inggris saya dibawah nilai C, jadi apabila saya salah dengar dan salah menafsirkan, berarti itu kesalahan saya semata.

1. The Watchers, yang merupakan Malaikat-Malaikat Allah yang turun ke bumi untuk menyelamatkan manusia dari kebathilan, kenapa mereka memiliki rasa benci dan dendam?

2. Noah adalah Rasul Allah yang pertama yang diberi wahyu untuk disampaikan kepada kaumnya, tapi di film ini Noah tak hidup di antara sekelompok kaum, tak melakukan dakwah, dan hanya hidup dengan istri dan ketiga anaknya.

3. Ketika raja bathil entah siapa namanya, mendatangi Noah dan mengejeknya bahwa dia seorang diri tanpa pengikut, Noah menjawab bahwa dia tak sendiri dan memandang ke para Watchers. Seharusnya, Allah yang tak membuat Noah sendiri.

4. Kisah yang saya baca, tak ada peperangan saling bunuh, hanya nabi Nuh diejek sedemikian rupa oleh umatnya. Dan di film ini, azab Allah berupa banjir bah itu bukan yang membunuh mati kaum nabi Nuh, mereka dibunuh secara membabi buta oleh the Watchers. Setelah mereka mati tercerai berai, baru air tercurah dari langit dan memancar dari bumi.

5. Tentang jumlah anak nabi Nuh memang jelas tak sama antara Qur'an dengan Alkitab. Tapi, di sini pengingkaran pada ajaran Nabi Nuh oleh putra pertama nabi Nuh terasa teramat menyakitkan, karena putranya sampai ingin membunuh nabi Nuh.

6. Di awal kehidupan baru, Noah menceritakan sebuah kisah, yaitu tentang penciptaan langit dan bumi beserta isinya, penciptaan Adam dan Eve, dosa pertama di muka bumi, diturunkannya Adam dan Eve dari surga, Cain dan Abel putra Adam-Eve yang saling bunuh, the watchers yang turun ke bumi menyelamatkan Cain si pembunuh pertama di bumi . Lalu Noah mengatakan bahwa dosa umat manusia sekarang dikarenakan dosa Adam. Ya, saya ingat ini memang diangkat dari Alkitab.

7. Pada akhirnya, Noah frustasi, kehilangan arah, merasa bersalah; ini menyakiti perasaan saya.

Review 7/10? Fiksi ya fiksi, tapi jangan terlalu begitu.

Dan, kenapa badan sensor Indonesia tak jujur tentang kenapa film ini tidak lulus sensor, menurut saya itu lebih dari 'non-fiksi ya bilanglah non-fiksi' kenapa juga memakai tedeng fiksi.

Friday 28 March 2014

Until All Pains Gone

I felt just that I knew it all... Mungkin seperti itu yang terus terucap oleh otak saya, manakala saya merasa dicurangi, bahkan oleh kebodohan saya sendiri. Dan, saya hanya butuh waktu untuk berhenti beberapa saat, untuk mencerna apa yang terjadi, menelan rasa pahit itu sedalam lidah saya tak lagi mampu merasakannya. Atau juga saya akan membiarkan rasa pahit itu mengalir bersama air mata, sesaat saja, saya tidak akan menyiksa waktu menjadi sekian lama.

Thursday 27 March 2014

Ng Tung Chai Waterfall

Bisa dibilang, inilah pertama kalinya saya melakukan perjalanan tanpa itinerary. Saya hanya mencari tahu tentang transportasi. Saya tidak merencanakan dengan jelas perjalanan seperti apa yang akan saya lakukan, saya tidak tahu medan seperti apa yang harus saya lalui, dan bahkan saya tidak tahu hal apa yang akan saya jumpai di tempat tujuan saya itu. Hanya ritual seperti biasanya, sarapan pagi adalah wajib, dan bekal air minum itu mutlak. Ng Tung Chai waterfall tujuan kami, saya dan seorang sahabat karib. Perjalanan kami mulai dari Tai Po Market station, dengan transportasi yang resiko salah turun pemberhetian lebih sedikit, yaitu bis, bis 64K dengan tujuan terakhirnya di Yuen Long sana. Selain bis, transportasi lainnya adalah minibus, minibus 25K. Dan sama, kita harus turun di pemberhentian Ng Tung Chai. BismiLlah ar Rohman ar Rokhim, perjalanan panjang kami mulai. Jangan tanya, ternyata berjalan tanpa itinerary itu menguras emoai positif. Sepertinya saya berjalan di tempat asing, tanpa bisa meraba dimana sebenarya tujuan yang harus saya capai. Saya tak tahu apapun, semangat terkikis oleh medan yang lumayan menanjak. Setelah berantakan perjalanan yang pertama, dan saya masih dengan sahabat karib yang sama melakukan perjalanan kedua kalinya, barulah saya menemukan kenikmatan perjalanan itu. Air terjun yang terdiri dari Bottom Waterfall, Middle Waterfall dan Main Waterfall ini memang SubhanaLlah, Maha Suci penciptanya.

Friday 18 December 2009

Cerita Panjang si Tukang Jalan


 



 

Berawal dari sebuah kejenuhan yang semakin menjadi saat rentang waktu tak lagi bisa dibilang singkat dengan rutinitas kerja 24 jam di rumah majikan yang sangat monoton. Berada jauh dari sanak saudara dan dipisahkan samudera luas membentang adalah penyebab lain kejenuhan itu semakin menjadi. Sebuah perjalanan saya rencanakan untuk mencari setetes embun penyejuk hati yang kadang turut gersang dengan bergantinya musim di Hong Kong. Libur seminggu sekali yang menjadi jatah setiap Buruh Migran merupakan kesempatan untuk mencari pengalaman dan ilmu. Nikmat Allah yang memberikan kesempatan kepada saya belajar ilmu kehidupan sampai ke negeri China, meski status saya di Hong Kong bukan sebagai pelajar, melainkan sebagai buruh.

Adat budaya, bahasa dan agama di Hong Kong adalah pelajaran yang harus saya pelajari di awal saya sampai di Hong Kong pada 23 Agustus 2004. Berinteraksi secara langsung merupakan wujud dari ilmu yang dipraktekkan, lebih mudah dipahami, meski sekaligus membuat saya merasa tergerapap setiap kali hal baru itu saya jumpai. Teori selama di penampungan terutama tentang bahasa lebih sulit diterapkan karena banyak suku kata yang mirip pengucapannya namun berbeda artinya. Proses adaptasi terus berlangsung hingga sekarang. Ilmu kehidupan pertama yang saya peroleh di Hong Kong.

Pekerjaan yang setiap hari sama tanpa variasi yang seringkali menghadirkan rasa tidak kerasan dan ingin pulang adalah masalah yang harus bisa saya atasi. Menjaga komunikasi dan silaturahmi dengan keluarga di kampung adalah salah satu penawar. Bertemu saudara setanah air di negeri orang merupakan cara lain untuk mengusir rasa jenuh yang mulai berlebihan. Dari pertemuan di hari libur inilah ilmu baru saya peroleh. Ilmu yang tidak akan saya peroleh dari bangku sekolah, yaitu ilmu kehidupan. Dari saudara setanah air yang telah banyak makan garam kehidupan, juga banyak pengalaman menjadi perantau. Masalah-masalah yang mereka alami baik itu dengan majikan maupun dengan keluarga yang mereka tinggalkan membuat saya semakin tahu tentang kehidupan. Masalah yang mungkin juga akan saya alami dan sedikit banyak saya mendapat ilmu bagaimana menghadapi dan mengatasinya berbekal dari pengalaman beberapa saudara seperjuangan. Subhanallah, keindahan silaturahmi memang membawa banyak manfaat.

Selama di Hong Kong saya bisa mendapatkan ilmu dari sesama manusia, baik itu dari majikan dan saudara setanah air yang mungkin tak akan saya dapatkan apabila saya tak melangkahkan kaki membulatkan tekad untuk menjadi perantau. Banyak buku yang bisa menjadi guru saya juga selama saya tinggal di kota Bunga Bauhinia ini, baik itu buku berbahasa Indonesia yang harus saya dapatkan dengan membelinya yang harganya dua kali lipat dengan harga asli di Indonesia atau juga buku-buku berbahasa Inggris yang banyak memenuhi rak-rak berjajar rapi di Hong Kong Central Library. Ilmu yang membuka wawasan saya.

Ternyata ilmu baru juga saya dapatkan karena tata letak kota. Hong Kong yang merupakan bagian dari negara maju membuatnya diberi sebutan Negara Beton, bisa anda bayangkan di sana sini gedung menjulang, bahkan saya kesulitan untuk menatap matahari tenggelam karenanya. Kerinduan kembali hadir. Rasa jenuh kembali menguasai jiwa. Mengunjungi taman-taman kota yang indah adalah langkah awal saya untuk mengusir jenuh itu. Kerinduan terobati dan tafakkur semakin mudah saya jalani, melihat keindahan ciptaan Allah dan belajar bersyukur serta terus berdzikir kepada-Nya seperti alam yang tiada lelah berdzikir kepada Allah dengan bahasanya. SubhanaLlah! Bermula dari taman kota buatan, akhirnya kaki saya tak lagi mampu ditahan untuk melangkah menyusuri pantai dan hutan. Berbekal informasi dari internet saya melangakah dengan penuh suka cita mengunjungi tempat baru yang jauh dari keramaian. Mengunjungi wisata alam yang indah terbentang di depan mata. Menyebut Asma Allah dan melafal pujian hanya kepada-Nya. Ilmu baru yang saya dapatkan, ilmu bersyukur dan merasa memerlukan bantuan Allah untuk semua hal dalam hidup saya, saya merasa sangat kecil dan tak berdaya ketika berada di tengah-tengah alam ciptaan Allah yang sangat luas dan sungguh indah. InnaLlaaha jamiil, wahuwa yuhibbul jamaal; Allah itu Maha Indah dan Allah mencintai keindahan.

SubhanaLlah walhamduliLlah begitu banyak ilmu yang diberikan Allah kepada saya, mengajari saya semakin dekat dengan-Nya.